Tempat Chatting bareng

Selasa, 13 Januari 2009

Penemu Lampu

C © updated 07012004






►e-ti/tonaufzeichnung.de
Nama:
Thomas Alva Edison
Lahir:
Milan, Ohio, Amerika Serikat, 11 Februari 1847
Meninggal:
West Orange, New York, pada tanggal 18 Oktober 1931
Penemuan:
3000 penemuan antara lain lampu listrik
Ayah:
Samuel Ogden (keturunan Belanda)
Ibu:
Nancy Elliot


Thomas Alva Edison

Penemu Terbesar Dunia


Thomas Alva Edison, seorang penemu terbesar di dunia. Bayangkan, ia menemukan 3.000 penemuan, diantara-nya lampu listrik, sistim distribusi listrik, lokomotif listrik, stasiun tenaga listrik, mikrofon, kinetoskop (proyektor film), laboratori-um riset untuk industri, fonograf (berkembang jadi tape-recorder), dan kinetograf (kamera film).

Ia anak bungsu dari tujuh bersaudara, lahir tanggal 11 Februari 1847 di Milan, Ohio, Amerika Serikat. Buah perkawinan Samuel Ogden, keturunan Belanda dengan Nancy Elliot. Sebagaimana umumnya orangtua, Samuel dan Nancy menyambut kelahiran anaknya dengan suka-cita. Tidak ada hal aneh dalam proses kelahiran anak ini. Namun setelah anak ini mulai bertumbuh, terlihat hal-hal ‘aneh’ yang membuatnya lain dari anak yang lain. Bayangkan, pada usia enam tahun ia pernah mengerami telur ayam.

Setelah berumur 7 tahun, ia masuk sekolah. Tapi malang, tiga bulan kemudian ia dikeluarkan dari sekolah. Gurunya menilainya terlalu bodoh, tak mampu menerima pelajaran apa pun. Untunglah ibunya, Nancy, pernah berprofesi guru. Sang ibu mengajarnya membaca, menulis dan berhitung. Ternyata anak ini dengan cepat menyerap apa yang diajarkan ibunya.

Anak ini kemudian sangat gemar membaca. la membaca berbagai jenis buku. Berjilid-jilid ensiklopedi dibacanya tanpa jemu. Ia juga membaca buku sejarah Inggris dan Romawi, Kamus IPA karangan Ure, dan Principia karangan Newton, dan buku Ilmu Kimia karangan Richard G. Parker.

Selain itu, ia juga anak yang sangat memahami kondisi ekonomi orangtuanya. Pada umur 12 tahun ia tak enggan jadi pengasong koran, kacang, permen, dan kue di kereta api. Sebagian keuntungannya diberikan kepada orang tuanya. Hebatnya, saat berjualan di dalam kereta api itu, ia gemar pula melakukan berbagai eksprimen. Bahkan sempat menerbitkan koran Weekly Herald. Suatu ketika, saat bereksprimen, sebuah gerbong hampir terbakar karena cairan kimia tumpah. Kondektur amat marah dan menamparnya hingga pendengarannya rusak.

Kemudian sejarah ilmu pengetahuan mencatat nama orang yang hidup tahun 1847-1931 ini (meninggal di West Orange, New York, pada tanggal 18 Oktober 1931 pada usia 84 tahun), sebagai penemu terbesar di dunia dengan 3000 penemuan. Ia bahkan pernah menemukan 400 macam penemuan dalam masa 13 bulan. *e-ti/tian dari berbagai sumber

Struktur Industri Elektronika Masih Lemah


Kalau Liga Dunhill menjadi tonggak baru dalam sejarah sepak bola Indonesia, maka Asian Games tahun 1962 telah mendorong lahirnya tonggak baru dalam dunia elektronika. Waktu itu pemerintah menginginkan masyarakat Indonesia menyaksikan pesta olah raga kebanggaan masyarakat Asia tersebut. Tak kurang dari Alm. M. Thayeb Gobel menyambut keinginan tersebut dengan mulai merakit televisi hitam putih pertama di Indonesia, di samping radio. Kendati hanya dadakan, produksi televisi tersebut telah menandai lahirnya industri elektronik di persada Nusantara.

Sebetulnya, sebelum itu sudah ada pabrik radio Phillips di Bandung dan Surabaya. Tapi, kedua pabrik itu merupakan peninggalan Belanda. Kemudian, pabrik radio Phillips di Surabaya berubah menjadi pabrik bohlam. Tahun 1956 Pak Gobel juga sudah mendirikan PT Transistor Radio Mfg. Co. yang memproduksi radio merek Tjawang. Kemudian, di Medan tahun 1962 lahir pula radio merek Nusantara yang diproduksi PT. Nusantara Polar. Sampai tahun 1960-an industri elektronik kita memang masih belum kelihatan atau masih dalam proses menjadi bayi. Yang muncul hanyalah kegiatan reparasi, seperti yang sudah dilakukan Bos Toa Galva, Uripto Wijaya sejak tahun 1950-an. Belum ada aktivitas yang berarti. Produksi televisi yang dilakukan, misalnya, hanya sebatas memenuhi kebutuhan Asian Games. Sesuai dengan kondisi waktu itu, perhatian pemerintah memang hanya tertuju ke sana. Setelah Asian Games belum ada kebijakan lanjutan dari pemerintah.

Saat itu semua kebutuhan barang elektronik harus diimpor. Sehingga, tahun 1950-an sudah terbentuk Persatuan Pedagang Radio Indonesia (PPRI). Selain dari hasil produksi Phillips di Bandung dan Surabaya, kebutuhan radio masih diimpor.

Pemerintah menyadari bahwa kondisi ini tidak menguntungkan. Indonesia harus mengeluarkan devisa begitu banyak untuk mengimpor produk elektronik. Sebetulnya, kondisi ini tidak hanya berkaitan dengan bidang elektronik, tapi juga dengan bidang lain. Sehingga, waktu itu pemerintah mengeluarkan kebijakan substitusi impor.

Melalui kebijakan ini pemerintah berusaha mendorong industri dalam negeri untuk memproduksi barang-barang kebutuhan dalam negeri, menggantikan barang-barang yang diimpor. Demikian juga dengan industri elektronik. Mulai awal tahun 1970 industri elektronik dikembangkan dengan pola substitusi impor sampai pertengahan tahun 1985.

Kebijakan pemerintah tersebut disambut baik oleh masyarakat industri elektronik. Puluhan perusahaan bermunculan sejak tahun 1970. Mereka ini boleh dibilang pioner dalam dunia elektronik.

Dengan rangsangan yang diberikan terhadap PMA (Penanaman Modal Asing), munculah beberapa perusahaan patungan dengan merek-merek terkenal dari Jepang, seperti National dan Sanyo. Juga, beberapa perusahaan dengan merek terkenal dari Eropa, seperti Grundig, Philips, dan ITT. Sampai 1973 saja sudah ada 15 perusahaan aktif, baik sebagai agen tunggal pemegang merek (ATPM) maupun yang memproduksi dengan merek lokal.

Perusahaan ATPM, misalnya PT Yasonta yang merakit televisi dengan merek Sharp dari Jepang; PT Sanyo Industries Indonesia yang merakit radio, televisi dan alat-alat rumah tangga dengan merek Sanyo dari Jepang; PT National Gobel yang merakit radio, televisi dan alat-alat rumah tangga dengan merek National dari Jepang; PT Asia Electronics Corp. yang merakit radio dan televisi merek Grundig dari Jerman. Sedangkan yang memproduksi merek lokal adalah seperti PT Galindra Electric Ltd. yang juga merakit radio, televisi, tape recorder dengan merek Galindra; PT Telesonic, dan sebagainya. Sampai 1985 jumlah perusahaan elektronik bertambah menjadi sekitar 58 perusahaan dengan berbagai merek produksi.

Sebagian besar merek asing yang diproduksi di Indonesia berasal dari Jepang. Dari sisi jenis produk juga berkembang. Sampai tahun 1973 produk yang dihasilkan terbatas pada radio, televisi, dan tape recorder. Ada sedikit perusahaan yang merakit beberapa produk alat-alat rumah tangga. Setelah tahun 1973, jenis produknya sudah mulai merambah ke alat-alat listrik rumah tangga.

Di samping itu juga muncul sejumlah merek baru. Misalnya, PT Wily Antariksa Electronics yang merakit televisi merek Toshiba; PT Alfa Intone International yang merakit televisi merek ITT dari Jerman; PT Adab Alam Electronics yang merakit amplifier, tape deck speaker system dengan merek Pioner dari Jepang; PT Ben Elektronik Nasional merakit radio merek Belna; PT Duta Nanjak merakit radio dan radio cassette merek Kingsonic; PT. Hartono Istana Electronics merakit merek Polytron; PT Scortarius Jaya yang memproduksi merek Video; PT Panggung Elektronik yang memproduksi merek Intel dan sebagainya.

Munculnya perusahaan-perusahaan tersebut telah mengurangi ketergantungan kita terhadap barang impor. Untuk memperkuat posisi perusahaan-perusahaan tadi, pemerintah mengeluarkan kebijakan ôlarangan imporö. Pada awal tahun 1970-an impor televisi dan radio dalam keadaan CBU (Completely Buit Up) dilarang. Dan, di samping itu, ketentuan CKD (Completely Knocked Down) diatur dengan tarif lebih rendah dari part untuk merangsang industri perakitan.

Dari sisi struktur produksi, sebetulnya perusahaan-perusahaan elektronik tadi sebagian besar melakukan perakitan dengan sebagian besar komponen diimpor dari luar negeri. Bagi perusahaan ATPM, mereka mengimpor komponennya dari pemilik merek. Produk bermerek lokalpun mendapatkan sebagian besar komponennya dari luar negeri.

Dengan demikian, industri elektronik kita merupakan industri perakitan yang mempunyai kapabilitas produksi dengan modifikasi sederhana. Hanya beberapa perusahaan yang memiliki kapasitas modifikasi mendasar (major change capability) dan kemampuan rekayasa atau desain. Boleh dikatakan belum ada yang dapat melakukan inovasi atau menjadi trend setter.

Industri Komponen

Sampai saat ini perusahaan komponen sudah cukup berkembang untuk industri alat-alat listrik rumah tangga. Sedangkan untuk industri consumer electronics hanya beberapa komponen yang sudah dapat diproduksi dalam negeri, seperti suku cadang plastik, metal, dan beberapa komponen pasif. Kandungan lokal produk elektronik dan alat-alat listrik rumah tangga kita masih rendah. Diperkirakan hanya 25-30%.

Menurut Data Departemen Perindustrian, di Indonesia terdapat sekitar 60 perusahaan komponen. Namun, produksinya masih terbatas pada komponen elektromekanik dan mechanical part, seperti speaker, transformer, heatshink, jointing cable, screw & nuts, flyback transformer, PCB, chasis, cartoon box, casting, cabinet, frame, ornamen, rubber parts, plastics parts, dan sebagainya.

Walaupun demikian, belakangan ini industri komponen ini sudah mulai muncul, seperti pabrik CRT oleh PT Tabung Gambar Indonesia dan PT Goldstar Display Devices Indonesia. Demikianpun industri komponen aktif, terutama semiconductor devices dan integrated circuit mulai bangkit. Paling tidak ada tiga perusahaan yang bergerak dalam bidang ini.

Kasus Fairchild dan National Semiconductors

Tahun 1973 dan 1974 dua perusahaan multinasional AS, Fairchild dan National Semiconductors, membuka pabrik di Indonesia. Waktu itu memang AS sedang melakukan relokasi perakitan semi conductor ke lokasi yang upah buruhnya rendah supaya bisa bersaing dengan Jepang. Keduanya mengekspor produknya 100%. Hasilnya, ekspor elektronik Indonesia tahun 1978 mencapai 15% dari total ekspor manufaktur Indonesia. Tapi, tahun 1985 kedua pabrik itu pindah ke Malaysia. Di samping karena permintaan komputer pada pertengahan tahun 1980-an menurun, perpindahan keduanya juga didorong oleh iklim investasi dan usaha dalam negeri yang tidak menunjang. Padahal, tahun 1984 nilai ekspor semiconductor kita sudah mencapai $ 135 juta.

Hengkangnya kedua pabrik tersebut merupakan petaka buat industri komponen elektronik kita. Kendati produksinya tidak untuk dipasarkan dalam negeri, keduanya merupakan perintis industri komponen elektronik kita. Dalam rangka memperkuat struktur industri elektronik nasional, pada tahun 1978 pemerintah mengeluarkan kebijakan yang disebut Deletion Program. Program yang berintikan penjadwalan komponen ini bermaksud mengembangkan industri komponen dalam negeri. Karena industri elektronik kita masih sangat tergantung pada industri komponen di negara lain. Dalam kebijakan itu perusahaan elektronik diharapkan mulai berusaha mengembangkan industri komponen untuk kebutuhannya sendiri.

Logikanya, kalau komponennya bisa dipenuhi dalam negeri, secara ekonomis value yang diperoleh industri elektronik semakin tinggi. Pada gilirannya, industri elektronika akan semakin berkembang. Ide pemerintah ini tentu sangat bagus. Beberapa perusahaan langsung terangsang untuk membangun pabrik komponen. Misalnya, PT National Gobel yang membuat speaker. Lalu, ada juga perusahaan yang memproduksi mechanical part, trafo, dan kabel.

Apa yang terjadi kemudian? Bagaimana dengan perkembangan industri komponen elektronik? Sampai saat ini ketergantungan terhadap komponen impor masih sangat tinggi. Sekitar 80% komponen elektronik kita masih harus diimpor. Apalagi, kebijakan penjadwalan komponen tadi tersandung Inpres No. 5 tahun 1985 yang berkaitan dengan deregulasi bidang tata niaga impor demi kelancaran arus barang. Akibatnya, larangan impor tadi sudah tidak berlaku lagi.

Menyadari kepincangan dan kerapuhan struktur berkepanjangan ini, pihak Asosiasi Gabungan Elektronika memang sudah mengusulkan perlunya sebuah kawasan industri khusus untuk industri komponen elektronik yang disebut Lingkungan Industri Komponen Elektronika (LIKE). Kawasan ini diharapkan mendapat status EPTE (Entreeport Produk Tujuan Ekspor) plus. Artinya, produksi komponen dan part dari lingkungan ini boleh dipasarkan secara bebas ke dalam negeri maupun ekspor. LIKE ini pula yang dianggap akan memiliki daya tarik besar bagi perusahaan-perusahaan asing yang ingin mengadakan relokasi ke Indonesia. Hasilnya? Kita masih harus menunggu.

Langsung Menggenjot Ekspor

Babak baru perkembangan industri elektronika dimulai tahun 1985. Diawali dengan berbagai deregulasi yang dilancarkan pemerintah. Para investor dari Jepang, Korea dan Taiwan mulai berdatangan terutama dalam bentuk relokasi. Produk-produk bermerek Korea dan Taiwan seperti Samsung, Goldstar dan sebagainya mulai menghiasi lembaran elektronik kita. Sejak pertengahan tahun 1980-an pemerintah mulai dengan gebrakan deregulasinya untuk menggalakkan ekspor non migas, karena penerimaan dari ekspor migas tidak bisa diandalkan lagi. Deregulasi sektor elektronik dalam Paket Mei 1990 ternyata memacu perkembangan industri elektronik. Dengan deregulasi tersebut, semua barang elektronik dapat diimpor oleh importir umum. Tarif impor untuk produk akhir juga diturunkan dari 20-60% menjadi 20-40%. Juga, tarif terhadap komponen diturunkan menjadi 0-5%. Berkat berbagai deregulasi untuk mendorong ekspor non migas tadi, ekspor elektronik pun mulai meningkat. Eskpor dimulai dengan beberapa consumer electronics, seperti radio, tape recorder, dan radio combination yang diproduksi perusahaan patungan. Perusahaan domestik juga mulai mengekspor.

Di samping pengaruh deregulasi tadi, perusahaan domestik juga melakukan ekspor karena mulai lesunya pasar domestik pada pertengahan tahun 1980- an. Di samping itu, langkah ini diambil sebagai antisipasi menghadapi persaingan dengan perusahaan di kawasan berikat yang sejak Pakto 1993 boleh memasarkan produknya 25% ke pasar dalam negeri. Sebelumnya mereka hanya boleh memasarkan 15% ke pasar domestik.

Pesatnya perkembangan ekspor elektronik mulai terlihat tahun 1991. Saat itu, realisasi ekspor dari perusahaan PMA yang baru dan didirikan untuk orientasi ekspor mulai menunjukkan pengaruh signifikan terhadap ekspor. PMA tersebut datang dalam bentuk relokasi industri. Sebetulnya investasi bermotif relokasi dari perusahaan-perusahaan Jepang, terutama yang bertujuan ekspor, memang sudah mulai nampak sejak tahun 1985. Saat itu terjadi apresiasi mata uang Yen.

Tahun 1988, negara-negara industri baru Asia Timur juga mulai gerah dan ingin mengikuti jejak Negeri Sakura merelokasi industrinya. Tapi, realisasi relokasi industri elektronik itu baru terjadi di Indonesia tahun 1991. Padahal, negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand dan RRC sudah lebih dulu kedatangan tamu relokasi tersebut.

Lalu, kenapa kita terlambat? Itulah persoalan kita bersama. Sebetulnya, peristiwa pembantaian korban-korban manusia di Tianiamen oleh kekejaman rejim yang berkuasa di RRC tahun 1989 merupakan kesempatan buat kita merebut peluang relokasi. Tapi, ternyata kita masih harus bekerja keras bersaing dengan RRC agar dilirik para investor asing.

Menurut data dari Departemen Perindustrian, pada tahun 1992 ekspor perusahaan PMA mencapai 80% dari total ekspor sektor elektronik nasional. Secara nasional, perekonomian Indonesia memang membaik pada akhir tahun 1980-an. Situasi itu rupanya berdampak pada perkembangan industri elektronika. Apalagi, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang disebut Paket Mei 1990. Melalui kebijakan ini tata niaga impor barang jadi elektronika dicabut dan diganti sistem tarif bea masuk dengan tarif maksimum 40%. Sementara tarif bea masuk komponen diturunkan menjadi 0-5%.

Hasil dari recovery ekonomi nasional plus Paket Mei l990 nampak signifikan. Pertumbuhan produksi elektronik l990-l992 mencapai 65% per tahun. Tingkat pertumbuhan l987-l989 baru mencapai 36.4%. Yang tidak berubah adalah pangsa produksi yang masih didominasi consumer electronics. Tapi kebijakan ini toh ternyata tidak berdaya terhadap barang elektronik selundupan. Barang selundupan ini masih berseliweran di pasar lokal. Buat konsumen tidak jadi masalah, karena barang selundupan tersebut dijual dengan harga murah. Tapi, bagi industri elektronik lokal, produk haram tersebut justru merupakan pesaing berat. Bahkan, produk lokal kalah bersaing. Apalagi setelah diberlakunya PPn BM (Pajak Penjualan Barang Mewah) yang dikenakan atas produk elektronik.

Kebijakan itu mengakibatkan harga produk terpaksa harus dinaikkan 10-30%. Di samping itu, ada perbedaan perlakuan antara produsen dengan importir produk elektronik. Produsen harus membayar PPn BM 10-30% ditambah PPN 10%, sedangkan importir tidak perlu membayar.

Di lain pihak, pertumbuhan tinggi yang terjadi sejak tahun 1991 juga disebabkan peningkatan permintaan pasar internasional yang dapat dilihat dari peningkatan nilai ekspor yang cukup tinggi. Tahun 1987, nilai ekspor hanya mencapai US$ 59 juta, sedangkan tahun 1992 melonjak menjadi US$ 865 juta dan tahun 1993 menjadi US$ 1,2 miliar.

Perkembangan yang demikian, didukung oleh prospek pengembangan yang dimiliki telah membuka mata pemerintah untuk menetapkan sektor elektronika ini sebagai salah satu dari enam industri andalan ekspor nasional. Keenam industri ini ditargetkan memasukkan devisa sebanyak US$ 47 miliar atau 85% dari target nilai ekspor nasional sebesar US$ 55 miliar per tahun pada akhir Pelita VI.

Dari target tersebut industri elektronik diharapkan menyumbang sekitar US$ 5,5 miliar per tahun. Tahun 1994, nilai ekspor industri elektronika mencapai sekitar US$ 2,2 miliar. Dengan nilai ekspor seperti ini dan perkembangan tahun-tahun sebelumnya, diperkirakan target tersebut dapat dicapai dengan mudah. Masalahnya, apakah kita mampu mempertahankan tingkat pertumbuhan 30% per tahun?

Banyak kalangan berpendapat, kalau struktur industri elektronika tidak segera diperbaiki, artinya industri komponen dan bagian-bagian tidak bertumbuh, maka mustahil mempertahankan tingkat pertumbuhan cukup tinggi untuk masa depan. Lebih dari itu, investor asing yang selama ini menjadi pilar utama ekspor elektronika Indonesia, dapat beralih ke RRC atau India yang diperkirakan 2-3 tahun lagi akan lepas dari kendala struktur yang masih disandang Indonesia sejauh ini.

Kondisi lain yang juga parah adalah mengharapkan impor komponen dari negara tetangga. Justru karena keuntungan terbesar bukan berasal dari produk akhir tetapi dari komponen dan bagian-bagian itu.

Waktu terus berganti dan segalanya telah berubah. Tetapi destinasi utama ekspor elektronik kita secara total tidak banyak berubah. Masih didominasi AS dan Singapura sebagai pasar utama. Sebagai catatan, besarnya ekspor ke Singapura disebabkan posisi negara tersebut sebagai entreport. Kalau dibagi per wilayah, ekspor elektronik kita didominasi oleh pasar Asia Timur. Ekspor ke Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) menunjukkan kecenderungan meningkat. Misalnya, tahun 1989 ekspor elektronik ke MEE mencapai 16% dari total, sedangkan tahun 1992 sudah meningkat menjadi 28%.

Angka ekspor yang meningkat ini ternyata belum dapat membuat kita berbangga. Dibandingkan dengan negara ASEAN lain, angka ekspor kita ternyata masih kecil. Data tahun 1994 menunjukkan bahwa nilai ekspor elektronik Malaysia mencapai sekitar US$ 18 miliar, Singapura sebesar US$ 30 miliar, Thailand mencapai US$ 8,5 miliar. Sementara Filipina sudah mampu mendapat US$ 2,5 miliar dari ekspor elektroniknya tahun 1993. Walaupun demikian, dunia elektronika kita semakin marak setelah dibukanya keran PMA 100% melalui Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1993. Kini ruang gerak mereka lebih leluasa. Persyaratan yang mengharuskan mereka mencari partner lokal tidak menjadi kendala lagi. Hasilnya mulai kelihatan. Beberapa merek terkenal yang dahulu dikembangkan melalui perusahaan patungan di Indonesia, kini pihak prinsipalnya mulai beroperasi dengan status PMA murni.

Lalu, bagaimana nasib perusahaan elektronik nasional yang dulu tumbuh mekar tahun 1970-an? Ternyata beberapa di antaranya sudah tidak bernafas alias cerobongnya tidak berasap lagi. Sementara yang lain masih hidup di tengah gelombang persaingan yang sangat ketat. Bagaimanapun, merekalah perintis industri elektronik di bumi pertiwi ini.

Sumber: Gabungan Elektronika Indonesia.

Senin, 12 Januari 2009

Sejarah Radio di Indonesia

Sejarah Radio di Indonesia

Selain sejarah penemuan dan inovasi dunia radio, saya juga tertarik untuk mengumpulkan beberapa materi dari berbagai sumber tentang sejarah radio di Indonesia. Mulai dari Radio Pemerintah, Radio Swasta hingga Amatir Radio yang berkembang di Indonesia.

Radio Republik Indonesia.

Melalui situsnya dijelaskan bahwa RRI atau Radio Republik Indonesia secara resmi didirikan pada tanggal 11 September 1945, oleh para tokoh yang sebelumnya aktif mengoperasikan beberapa stasiun radio Jepang di 6 kota. Rapat utusan 6 radio di rumah Adang Kadarusman, Jalan Menteng Dalam, Jakarta, menghasilkan keputusan mendirikan Radio Republik Indonesia dengan memilih Dokter Abdulrahman Saleh sebagai pemimpin umum RRI yang pertama. Rapat tersebut juga menghasilkan suatu deklarasi yang terkenal dengan sebutan Piagam 11 September 1945, yang berisi 3 butir komitmen tugas dan fungsi RRI yang kemudian dikenal dengan Tri Prasetya RRI.

Penghapusan Departemen Penerangan oleh Pemerintah Presiden Abdurahman Wahid dijadikan momentum dari sebuah proses perubahan government owned radio ke arah Public Service Boradcasting dengan didasari Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2000 yang ditandatangani Presiden RI tanggal 7 Juni 2000.

Saat ini RRI memiliki 52 stasiun penyiaran dan stasiun penyiaran khusus yang ditujukan ke Luar Negeri dengan didukung oleh 8500 karyawan.

Kecuali di Jakarta, RRI di daerah hampir seluruhnya menyelenggarakan siaran dalam 3 program yaitu Programa daerah yang melayani segmen masyarakat yang luas sampai pedesaan, Programa Kota (Pro II) yang melayani masyarakat di perkotaan dan Programa III (Pro III) yang menyajikan Berita dan Informasi (News Chanel) kepada masyarakat luas. Di Stasiun Cabang Utama Jakarta terdapat 6 programa yaitu programa I untuk pendengar di Propinsi DKI Jakarta Usia Dewasa, Programa II untuk segment pendengar remaja dan pemuda di Jakarta, Programa III khusus berita dan Informasi, Programa IV Kebudayaan, Programa V untuk saluran Pendidikan dan Programa VI Musik Klasik dan Bahasa Asing. Sedangkan "Suara Indonesia" (Voice of Indonesia) menyelenggarakan siaran dalam 10 bahasa.

Sekilas Sejarah Amatir Radio di Indonesia

Kegiatan Amatir radio merupakan kegiatan orang-orang yang mempunyai hobby dalam bidang tehnik transmisi radio dan elektronika, kegiatan ini disahkan, diatur dan diawasi secara global baik oleh Badan-badan telekomunikasi international seperti ITU dan IARU maupun oleh badan telekomunikasi nasional disetiap negara. Oleh karena itu dalam melakukan kegiatannya mereka mempunyai dan berlandaskan KODE ETIK AMATIR RADIO.

Kegiatan amatir radio di Indonesia dimulai pada tahun 1930-an ketika Indonesia masih dalam jajahan Belanda atau Hindia Belanda. Sangat sedikit orang yang dipercaya oleh kekuasaan untuk memiliki izin amatir radio saat itu. Dua diantara mereka yang disebut-sebut sebagai pelopor adalah : Rubin Kain (YB1KW) yang izinnya didapat tahun 1932. Beliau telah meninggal pada tahun 1981. Yang kedua adalah B. Zulkarnaen (YB0AU) yang izinnya didapat pada tahun 1933. Beliau juga telah meninggal pada tahun 1984.

Semua aktifitas amatir radio dihentikan pada saat pendudukan Jepan dan Perang Dunia II, namun ada dari sebagian mereka yang tetap nekat beroperasi dibawah tanah untuk kepentingan Revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Tahun 1945, proklamasi kemerdekaan RI disiarkan ke seluruh dunia dengan menggunakan sebuah pemancar radio revolusioner yang dibuat sendiri oleh seorang amatir radio yang bernama Gunawan (YB0BD). Jasa YBoBD ini diakui oleh Pemerintah dan sebagai penghargaannya, pemancar radio buatan Gunawan tersebut di simpan di Museum Nasional Indonesia.

Selanjutnya, kegiatan amatir radio diselenggarakan kembali pada tahun 1945 sampai dengan 1949. Namun karena alasan keamanan dalam negeri, pada tahun 1950, pemerintah melarang kegiatan amatir radio hingga tahun 1967. Landasan pelarang itu adalah Undang-undang No. 5/1964 yang menegaskan hukuman yang sangat berat bagi mereka yang memiliki pemancar radio tanpa izin.

Pada tahun 1966, amatir radio memperjuangkan kepentingannya kepada pemerintah agar amatir radio dapat diselenggarakan kembali di Indonesia. Akhirnya, dengan Peraturan Pemerintah No. 21/1967, pemerintah mengizinkan kembali kegiatan amatir radio.

Melalui Konferensi Amatior Radio yang pertama pada tgl. 9 Juli 1969 di Jakarta, didirikan organisasi yang bernama Organisasi Radio Amatir Republik Indonesia (ORARI). Pada Munas ORARI tahun 1977, nama organisasi dirubah menjadi Organisasi Amatir Radio Indonesia dengan singkatan yang sama hingga sekerang.

Terbentuknya ORARI dapat dikatakan berawal di Jakarta dan Jawa Barat atau pulau Jawa pada umumnya dan diprakarsai oleh kegiatan aksi mahasiwa , pelajar dan kaum muda, diawal tahun 1965 sekelompok mahasiwa publistik yang tergabung dalam wadah KAMI membentuk radio siaran perjuangan bernama Radio Ampera, mulai saat itu juga bermunculanlah radio siaran lainya seperti Radio Fakultas Tehnik UI, Radio Angkatan Muda, Kayu Manis, Draba, dll.

Sudah tentu semua radio siaran itu merupakan siaran yang tak memiliki izin alias Radio gelap. Sadar karena semakin banyaknya radio siaran bermunculan yang memerlukan suatu koordinasi demi tercapainya perjuangan ORBA maka dibentuklah pada tahun 1966 oleh para mahasiwa suatu wadah yang diberi nama PARD (Persatuan Radio Amatir Djakarta) diantaranya terdapat nama-nama koordinatornya seperti Willy A Karamoy. Ismet Hadad, Rusdi Saleh, dll.

Di Bandung juga terbentuk PARB. Bagi anggota yang hanya berminat dalam bidang teknik wajib menempuh ujian tehnik dan bagi kelompok radio siaran disamping perlu adanya tehnisi yang telah di uji juga wajib menempuh ujian tehnik siaran dan publisistik. Setelah itu kesemuanya diberi callsign menggunakan prefix X, kode area 1 s/d 11 dan suffix 2 huruf sedangkan huruf suffix pertamanya mengidentifikasikan tingkat keterampilannya A s/d F seperti X6AM, X11CB dsb sedangkan untuk radio siaran diberi suffix 3 huruf.

Pada mulanya PARD merupakan wadah bagi para amatir radio dan sekaligus radio siaran . Sehingga pada saat itu secara salah masyarakat mengidentikan Radio amatir sebagai radio siaran non RRI. Karena adanya tingkatan keterampilan, PARD saat itu juga menyelenggarakan ujian kenaikan tingkat. Disamping itu terdapat juga para Amatir era 1945-1952 yang tergabung dalam PARI (Persatoean Amatir Repoeblik Indonesia 1950), diantaranya terdapat nama - nama , Soehodo †. (YBØAB), Dick Tamimi †. (YBØAC), Soehindrio (YBØAD), Agus Amanto † (YBØAE), B. Zulkarnaen †. (YBØAU), Koentojo † (YBØAV) dll. Diantara mereka ternyata ada juga yang menjadi anggota PARD seperti, (YBØAE) dan (YBØAU).

Radio Siaran Swasta

PRSSNI sebagai wadah organisasi radio swasta di Indonesia menuliskan bahwa keberadaan radio siaran di Indonesia, mempunyai hubungan erat dengan sejarah perjuangan bangsa, baik semasa penjajahan, masa perjuangan proklamasi kemerdekaan, maupun didalam dinamika perjalanan bangsa memperjuangkan kehidupan masyarakat yang demokratis, adil dan berkemakmuran.

Di zaman Penjajahan Belanda, radio siaran swasta yang dikelola warga asing menyiarkan program untuk kepentingan dagang, sedangkan radio siaran swasta yang dikelola pribumi menyiarkan program untuk memajukan kesenian, kebudayaan, disamping kepentingan pergerakan semangat kebangsaan. Ketika pendudukan Jepang tahun 1942, semua stasiun radio siaran dikuasai oleh pemerintah, programnya diarahkan pada propaganda perang Asia Timur Raya. Tapi setelah Jepang menyerah kepada Sekutu 14 Agustus 1945 para angkasawan pejuang menguasai Radio Siaran sehingga dapat mengumandangkan Teks Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 ke seluruh dunia. Selanjutnya sejak proklamasi kemerdekaan RI sampai akhir masa pemerintahan Orde Lama tahun 1965, Radio Siaran hanya diselenggarakan oleh Pemerintah, dalam hal ini Radio Republik Indonesia atau RRI.

Secara defacto Radio siaran swasta nasional Indonesia tumbuh sebagai perkembangan profesionalisme “radio amatir” yang dimotori kaum muda diawal Orde baru tahun 1966; secara yuridis keberadaan radio siaran swasta diakui, dengan prasyarat, penyelenggaranya ber-Badan Hukum dan dapat menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah RI nomor 55 tahun 1970 tentang Radio Siaran Non Pemerintah, yang mengatur fungsi, hak, kewajiban dan tanggungjawab radio siaran, syarat-syarat penyelenggaraan, perizinan serta pengawasannya.

Hingga saat ini, saya mengamati perkembangan radio swasta semakin membaik, apalagi setelah jatuhnya Orde Baru pada tahun 1998. Terima kasih reformasi, karena sekarang saya dapat mendengarkan berita-berita aktual setiap saat melalui siaran radio swasta yang lebih kredibel. Kita tidak lagi terpasung mendengarkan berita pada jam-jam tertentu. Itu satu hal yang positif, bagaimana industri melihat peluang yang ada pada saat bergulirnya reformasi.

Tentang Televisi

Televisi merupakan terjemahan dari bahasa Inggris Television. Kata television diambil dari bahasa Latin tele yang berarti jauh (jarak) dan visio, melihat, kata benda dari visus, terlihat, yang diturunkan dari kata kerja vedere, melihat. Secara umum televisi, yang biasa disingkat TV (dibaca oleh orang Indonesia tivi yang seharusnya teve) mempunyai pengertian:

1) Sebuah alat komunikasi elektronik yang memubngkinkan pemancaran gambar visual dan suara secara langsung (real time).

2) Sebuah alat penerima sinyal dan mendisplaikan dalam bentuk visual.

3) Secara kolektif merupakan program acara yang dipancarkan lewat stasiun televisi.

Jadi, televisi adalah sistem komunikasi penyiaran dan penerima gambar hidup dan suara dari jauh. Istilah tersebut sudah menyangkut semua aspek program acara televisi dan pemancarannya. (www.wikipedia.org).

Sejarah Televisi

Televisi, yang ditonton masyarakat sepanjang hari, sepanjang tahun, menjalani sejarah panjang yang dimulai sejak abad ke-19. Seorang mahasiswa Jerman, Paul Gottlieb Nipkow, mengusulkan dan mematenkan televisi eletromekanik yang pertama pada tahun 1885. Piringan, berlubang-lubang membentuk spiral mengarah ke tengah, berputar Nipkow menjadi “televisi” pertama. Tahun 1990, Constantin Perskyi dalam, the International Electricity Congress, memperkenalkan kata televisi dalam papernya yang me-review elektromekanik teknologi karya Nipkow dan lainnya. Boris Rosing dan mahasiswanya Vladimir Kosma Zwarykin pada tahun 1911 “sukses” dengan sistem televisi menggunakan mechanical mirror-drum scanner untuk dipancarakan lewat kabel dengan cathode ray tube sebagai pesawat penerima.

John Logie Baird dan kawan-kawannya di Inggris pada tahun 1925, dengan piringan Nipkow menciptakan sistem untuk pemindaian (scanning), pemancaran, dan penerimaan citra bergerak. Berbeda dengan tv elektronik saat ini dengan beberapa ribu garis resolusi, televisi Baird hanya memiliki 30 garis vertikal yang cukup mereproduksi wajah seseorang. Tiga tahun kemudian (192 8) Beird berhasil memancarkan sinyal televisi transatlantik yang pertama. Tahun 1931 dia berhasil mengadakan siaran lansung pertamanya. Tahun 1936 sistemnya mencapai puncak pada 240 garis yang disiarkan oleh BBC, sebelum sistemnya dihentikan dan diganti dengan sistem elektronik dengan 405 garis.

Pada saat Baird di Inggris melakukan penemuan citra bergerak, di Amerika pada tahun yang sama, dengan sistem yang hampir sama, Charles Francis Jenkins berhasil memancarkan citra dengan 48 garis per gambar dan 16 gambar per detik.

Perkembangan televisi elektronik tertinggal jauh dengan televisi elektromekanik karena televisi elektromekanik relatif lebih murah, bagian-bagiannya tidak rumit, dan yang utama tidak ada yang tertarik untuk membiayai pengembangan televisi elektronik pada saat tv elekromekanik sudah jauh lebih baik pada saat itu. Namun segala sesuatu ada batasnya, dengan ditemukan sistem yang lebih murah, masyarakat melihat sudah waktunya untuk berubah. Vladimir Kosmo Zworykin dan Philo T. Farnsworth membuat gebrakan yang membuat televisi elektronik dapat dikembangkan. RCA melihat bahwa televisi elektronik aklan lebih bernilai komersial dari pada televisi eletromakenaik. RCA bersedia membiayai pengembangan ide Farnsworth dan Zworykin. Tahun 1934, televisi eletromekanik menjadi barang yang ketinggalan jaman, walau beberapa stasiun televisi tetap bersiaran dengan eletromekanik sampai tahun 1939.

Pada tahun 1939 RCA dan Zwarykin bersiaran dengan program reguler yang dimulai pada saat “penelevisian” the World Fair di New York dan segala sesuatunya bergerak begitu cepat. Pada tahun 1941 National Television Standard Committee (NTSC) diputuskan sabagai acuan standar nasional pemancaran televisi di Amerika Serikat. Lima bulan setelah keputusan tersebut sudah 22 negara yang mengikuti standar tersebut untuk stasiun televisi mereka.

Televisi berwarna bermula tahun 1941, terjadi pertarungan antar RCA dan CBS. Televisi berwarna meraka belum bisa dinikmati khalayak karena tidak compatible dengan pesawat penerima siaran televisi hitam putih milik mayarakat. Televisi berwarna hanya bisa dinikmati oleh para peneliti di RCA dan CBS, dan wartawan yang diundang. Pengembangan belum tuntas, pada tahun 1942 s.d 1945, the War Production Board menghentikan semua produksi peralatan televisi dan radio untuk masarakat sipil. Hal ini membatasai kesempatan para pabrikan untuk memperkenalkan televisi berwarna kepada masarakat luas.

Setelah perang usai ada tiga perusahaan yang berebut memperkenalkan teknologi televisi berwarna, yaitu CBS, RCA, dan CTI. Dari ketiganya yang menang adalah RCA, sebab RCA mampu mengembangkan teknologi TV berwarna tanpa harus mengganti pesawat penerima televisi hitam putih. CBS dan CTI kalah bersaing karena teknologinya tidak compatible dengan pesawat televisi hitam putih yang telah ada. Mayarakat yang ingin menonton siaran televisi berwarna harus mengganti. Saat itu peswat televisi masih sangat mahal (setara setengah harga mobil). Akhirnya secara komersial pesawat televisi berwarna menggunakan standar warna NTSC-RCA. (RCA mempunyai anak perusahaan penyiaran yaitu NBC). Siaran televisi berwarna di Amerika dimulai tahun 1951.

Di Eropa dikembangkan sistem 625 garis untuk transmisi monokrom dengan jumlah frame per detiknya lebih sedikit (24 frame) dari pada yang ada di Amerika. Di Amerika setiap frame terdiri dari 525 garis dan 30 frame per detik. Ketidakpuasan terhadap sistem NTSC Amerika, negara-negara Eropa menggunakan sistem lain yaitu SECAM yang diciptakan di Perancis, dan PAL diciptakan di Jerman. Perkembangan teknologi televisi berwarna di Eropa tidak sepesat Amerika, karena kurangnya motivasi komersial. Lembaga penyiaran di Eropa rata-rata dimiliki oleh negara. Siaran berwarna secara reguler di Eropa pertama kali tahun 1967. Di Amerika siaran televisi hitam putih masih berlangsung sampai tahun 1972 dan di Eropa sampai awal 1980-an.

Televisi semakin berkembang baik teknologi pada perangkat produksi, penyiaran, pemancar, stasiun, dan pesawat penerima., maupun jumlah. Saat ini teknologi sudah berkembang ke arah digitalisasi. Perangkat dan peralatan televisi pada saat ini relatif kompak (kecil) tetapi sarat dengan teknologi yang menghasilkan mutu yang jauh lebih bagus dan akuat dibandingkan dengan beberapa tahun lalu.

Digital Television (DTV) adalah tipe baru dari penyiaran televisi yang mentransformasikan gambar dan suara diambil dengan teknologi digital, ditransmisikan dengan kualitas film, mempunyai kemampuan multicasting dan interaktif. Ini berarti pemirsa mempunyai banyak pilihan tingkat kualitas program televisi digital.

Ada beberapa standar kualitas televisi digital, diantaranya SDTV (Standard Definition TV) dan HDTV (High Definition TV). SDTV, standar dasar kualitas tayangan dan resolusi gambar pada televisi baik yang analog maupun untuk digital, baik yang menggunakan format aspek rasio layara 4:3 atau pun 16: 9. HDTV dengan format aspek rasio 16:9 menampilkan resolusi gambar tertinggi yang diambil dengan peralatan digital dengan suara yang stara dengan CD. HDTV menyuguhkan setandar baru pada kualitas gambar dan suara televisi (http://www.dtv.gov/whatisdtv.html).

HDTV merupakan salah satu format televisi digital, sebagai perbandinganTV analog NTSC per frame terdiri dari 525 garis kali 720 pixel, dengan total 378,000 pixel, sedangkan HDTV mempunyai resolusi 1920 x 1080. total 2,073,600 pixel per frame, fixelnya enam kali lebih TV analog. Sedangkan untuk suara HDTV menyiarkan dengan Dolby Digital/AC-3 audio encoding system. Ini sama dengan suara di gedung bioskup atau home theathre dengan 5.1 channels of sound: tiga didepan (left-center-right), dua di belakang (left - right), dan subwoofer. Kelebihan lain HDTV yaitu multicasting, yaitu bisa menyiarkan 4 program SDTV sekaligus dalam satu channel, pada saat tidak menyiarkan HDTV (http://www.pbs.org/opb/crashcourse/)

Saat ini di Amerika sudah ada sekitar 843 dari 1696 stasiun penyiaran televisi yang sudah mengaplikasikan DTV (http://www.fcc.gov/mb/video/files/dtvonair.html). Semula transisi dari TV analog ke digital diharapkan selesai pada tanggal 31 Desember 2006 (http://www.fcc.gov/cgb/consumerfacts/digitaltv.html), namun pada tanggal 21 Desember 2005, Senat Amerika memutuskan transisi selesai tanggal 17 Februari 2009 (hhtp://broadcastengineering.com/newsletters/eng_update/20051228/#).

Pada saat digital televisi telah beroperasi, bukan berarti pesawat penerima TV analog tidak terpakai. Pesawat tetap bisa dipakai dengan menambahkan converter set-top box. Namun pemerintah Amerika juga menentukan tanggal 7 Maret 2007 semua produksi televisi sudah menggunakan digital tuner sudah tersedia langsung pada pesawat penerima televisi. Para pabrik pembuat pesawat televisi sudah harus menghentikan produksi pesawat televisi analog (www.fcc.gov/cgb/consumerfacts/digitaltv.html) Di Indonesia direncanakan pada akhir Januari 2006 diadakan percobaan televisi digital ( SIARAN PERS No 01/DJPT.1/KOMINFO/I/2006 2 Januari 2006 www.depkominfo.go.id ). Televisi analog hanya menunggu waktu untuk masuk museum.

PERKEMBANGAN TELEVISI DI INDONESIA

SEJARAH PERKEMBANGAN TELEVISI

Pada tahun 1962 menjadi tonggak pertelevisian Nasional Indonesia dengan berdiri dan beroperasinya TVRI. Pada perkembangannya TVRI menjadi alat strategis pemerintah dalam banyak kegiatan, mulai dari kegiatan sosial hingga kegiatan-kegiatan politik. Selama beberapa decade TVRI memegang monopoli penyiaran di Indonesia, dan menjadi “ corong “ pemerintah. Sejak awal keberadaan TVRI, siaran berita menjadi salah satu andalan. Bahkan Dunia dalam Berita dan Berita Nasional ditayangkan pada jam utama. Bahkan Metro TV menjadi stasiun TV pertama di Indonesia yang fokus pada pemberitaan, layaknya CNN atau Al-Jazeera. Pada awalnya, persetujuan untuk mendirikan televisi hanya dari telegram pendek Presiden Soekarno ketika sedang melawat ke Wina, 23 Oktober 1961.

Sulit dibayangkan bagiamana repotnya dan susahnya ketika itu, karena bahkan untuk memlilih peralatan yang mana dari perusahaan apa, masih serba menerka. Dalam perkembangannya, TV swasta melahirkan siaran berita yang lebih variatif. Siaran berita yang bersifat straight news, seperti Liputan 6 (SCTV), Metro Malam (Metro TV), dan Seputar Indonesia (RCTI) tidak jadi satu-satunya pakem berita televisi. Kurang dalamnya straight news disiasati stasiun TV dengan tayang depth reporting, yang mengulas suatu berita secara lebih mendalam. Tayangan itu antara lain Metro Realitas (Metro TV), Derap Hukum dan Sigi (SCTV) dan Kupas Tuntas (Trans TV). Sementara itu, berita kriminal mendapat tempat tersendiri dalam dunia pemberitaan televisi, sebutlah Buser (SCTV), Sergap (RCTI) dan Patroli (Indosiar). Tonggak kedua dunia pertelevisian adalah pada tahun 1987, yaitu ketika diterbitkannya Keputusan Menteri Penerangan RI Nomor : 190 A/ Kep/ Menpen/ 1987 tentang siaran saluran terbatas, yang membuka peluang bagi televisi swasta untuk beroperasi. Seiring dengan keluarnya Kepmen tersebut, pada tanggal 24 agustus 1989 televisi swasta, RCTI, resmi mengudara, dan tahun-tahun berikutnya bermunculan stasiun-stasiun televisi swasta baru, berturut-turut adalah SCTV ( 24/8/90 ), TPI ( 23/1/1991 ), Anteve ( 7/3/1993 ), indosiar ( 11/1/1995 ), metro TV ( 25/11/2000 ), trans TV ( 25/11/2001 ), dan lativi ( 17/1/2002 ). Selain itu, muncul pula TV global dan TV 7. jumlah stasiun televisi swasta Nasional tersebut belum mencakup stasiun televisi lokal – regional..
Maraknya komunitas televisi swasta membawa banyak dampak dalam kehidupan masyarakat, baik positif atau negatif. Kehadiran mereka pun sering menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat. Pada satu sisi masyarakat dipuaskan oleh kehadiran mereka yang menayangkan hiburan dan memberikan informasi, namun di sisi lain mereka pun tidak jarang menuai kecaman dari masyarakat karena tayangan-tayangan mereka yang kurang bisa diterima oleh masyarakat ataupun individu-individu tertentu. Bagaimanapun juga, televisi telah menjadi sebuah keniscayaan dalam masyarakat dewasa ini. Kemampuan televisi yang sangat menakjubkan untuk menembus batas-batas yang sulit ditembus oleh media masa lainnya. Televisi mampu menjangkau daerah-daerah yang jauh secara geografis, ia juga hadir di ruang-ruang publik hingga ruang yang sangat pribadi. Televisi merupakan gabungan dari media dengar dan gambar hidup ( gerak atau live ) yang bisa bersifat politis, informatif, hiburan, pendidikan, atau bahkan gabungan dari ketiga unsur tersebut. Oleh karena itu, ia memiliki sifat yang sangat istimewa.
Kemampuan televisi yang luar biasa tersebut sangat bermanfaat bagi banyak pihak, baik dari kalangan ekonomi, hingga politik. Bagi kalangan ekonomi televisi sering dimanfaatkan sebagai media iklan yang sangat efektif untuk memperkenalkan produk pada konsumen. Sementara, bagi kalangan politik, televisi sering dimanfaatkan sebagai media kampanye untuk menggalang masak, contohnya adalah, banyak pihak yang menilai kemenangan SBY di Indonesia dan JFK di Amerika sebagai presiden adalah karena kepiawaian mereka memenfaatkan media televisi. Belakangan, televisi pun sering dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai media sosialisasi sebuah kebijakan yang akan di ambil kepada masyarakat luas, seperti yang belakangan adalah sosialisasi tentang kenaikan harga BBM dan tarip dasar listrik. Kehadiran televisi banyak memberi pengaruh positif dalam masyarakat, terutama yang terkait dengan kemampuannya untuk menyebar informasi yang cepat dan dapat diterima dalam wilayah yang sangat luas pada waktu yang singkat. Hasil penelitian MRI ( 2001 ) terhadap para ibu yang diungkapkan oleh Puspito ( Almira-online ) menyebutkan bahwa siaran televisi memberikan dampak positif bagi anak-anak mereka. Diantara dampak positif tersebut adalah menambah wawasan anak, anak menjadi lebih cerdas, anak dapat membedakan yang baik dan jahat, serta dapat mengembangkan keterampilan anak. Dampak negatif yang ia lihat pada anak mereka, yaitu berperilaku keras, moralitas negatif, anak pasif, dan tidak kreatif nilai sekolah rendah, kecanduan menonton, dan perilaku konsumtif.

• SEJARAH TELEVISI LOKAL
Penyiaran saat ini tidak lagi menjadi monopoli Jakarta. Fenomena menjamurnya televisi lokal di berbagai daerah dapat dijadikan indikator telah menyebarnya sumber daya penyiaran. Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), sebuah organisasi tempat bergabungnya televisi lokal yang berdiri pada 26 Juli 2002, hingga saat ini telah menghimpun sebanyak 23 industri televisi lokal. Anggotanya tersebar di berbagai daerah di Indonesia, ada Bandung TV di Bandung, Bali TV di Bali, Riau TV di Pekanbaru Riau, dan berbagai daerah lainnya. Belum lagi keberadaan televisi lokal lainnya yang belum terdata sama sekali. Dapat dibayangkan betapa ramainya udara Indonesia di masa yang akan datang dengan maraknya televisi lokal yang akan bermunculan. menggeliatnya perkembangan televisi lokal tidak seindah yang dibayangkan. Televisi lokal yang sudah beroperasi banyak yang berjibaku dengan masalah internalnya, dari persoalan buruknya manajemen, baik manajemen sumber daya manusianya maupun manajemen keuangannya, hingga pada persoalan sulitnya mendapatkan share iklan.
Iklan merupakan masalah tersendiri yang cukup membuat gelisah para pengelola sebagian besar televisi lokal. Potret buruknya sistem manajemen sebagian televisi lokal dapat dilihat dalam peristiwa protes karyawan salah satu televisi lokal yang terjadi di tahun 2005. Protes karyawan dilatarbelakangi karena rendahnya upah yang diterima serta tidak adanya kepastian kerja bagi mereka. Tumpuan harapan
Publik sesungguhnya menaruh harapan begitu tinggi terhadap televisi lokal. Kehadirannya di belantika penyiaran diharapkan dapat memberi alternatif tontonan dan dapat mengakomodasi khazanah lokalitas yang saat ini kurang tertampung dalam tayangan televisi Zaman telah berubah, konsentrasi media dan pemusatan modal ingin dihilangkan. Walau tidak bisa dilakukan secara langsung, keinginan menyebar sumber daya itu akan dilakukan secara bertahap seiring dengan penataan sistem dan regulasinya. Ini merupakan berkah yang patut disyukuri masyarakat daerah.
Bila keadaan ini terus berjalan sesuai harapan, geliat industri penyiaran di daerah akan berkembang dan orang tidak lagi melihat Jakarta sebagai pusat peradaban penyiaran. Peradaban penyiaran lambat laun akan tumbuh di berbagai daerah. Fenomena ini mungkin hampir sama dengan keadaan pada zaman Yunani kuno. Di sana polis- polis berkembang dan kebudayaan tidak terpusat di suatu tempat. Tanggung jawab pengelola
Banyaknya masalah yang dihadapi oleh industri televisi lokal menuntut perhatian dan upaya untuk mengatasinya. Hal ini bukan hanya menjadi tanggung jawab regulator penyiaran, melainkan juga menjadi tanggung jawab pengelola televisi lokal itu sendiri. Dari sudut regulator diharapkan ada regulasi atau kebijakan yang memihak terhadap tumbuhkembangnya televisi lokal.
Pemihakan itu kemudian dituangkan dalam produk peraturan. Dari sisi televisi lokal, harus segera dilakukan upaya, antara lain pertama, televisi lokal harus mampu menciptakan keunikan dari program siaran yang dikelolanya. Bila hal ini dapat dilakukan, setidaknya televisi lokal dapat membangun posisi tawar di hadapan televisi Jakarta dan dapat meraih pemirsa daerah yang selama ini menjadi penonton loyal televisi local. Bila televisi lokal telah menjadi tuan rumah di daerahnya sendiri, rasanya cita-cita mewujudkan sistem penyiaran nasional yang berkeadilan bukanlah sebuah impian yang utopis.
Pada era otonomi daerah, peran media massa makin urgen. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang direvisi menjadi Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah lebih menitikberatkan pada partisipasi dan kontrol masyarakat serta pemberdayaan institusi lokal. Salah satu upaya yang harus dilakukan demi suksesnya otonomi daerah adalah mengoptimalkan peran institusi lokal nonpemerintah, seperti media massa. Strategi komunikasi yang berkembang pun tidak lagi centrist vertical seperti pada masa Orde Baru. Pada masa itu, media massa hanya menjadi corong komunikator puncak yang duduk di jabatan tertinggi pemerintahan sehingga informasi yang beredar pun hanya untuk kepentingan pemerintahan. Sementara itu, masyarakat diposisikan hanya sebagai komunikan yang dijejali dengan berbagai propaganda. Di Indonesia saat ini sudah berkembang startegi komunikasi two way traffic yang dalam pandangan Peterson dan Burnett, telah terjadi komunikasi vertikal downward communication dan upward communication.
Realitas tersebut merupakan angin surga bagi kehidupan media massa di tanah air. Setidaknya, media massa pada orde ini dapat lebih memberdayakan dirinya sembari tetap mempertahankan empat fungsi pokoknya, yakni, memberikan informasi (to inform), menjadi media pendidikan (to educate), sarana hiburan bagi masyarakat (to entertain), dan kontrol sosial (social control). Keempat fungsi pokok tersebut harus dikayuh dalam bingkai-bingkai norma yang berlaku, baik norma hukum, norma agama, norma susila, maupun norma kesopanan.

Sejarah Televisi

Teve tempo doeloe

Poster Iklan Baird Televisor, 1930Adalah suatu anugerah bagi kita, dengan hadirnya televisi yang memberikan begitu banyak informasi kepada kita. Beragam stasiun TV dengan aneka program siarannya yang disajikan dengan kualitas gambar dan tata suara yang apik, menjadikan televisi sebagai sumber segala informasi, berita, dan juga hiburan yang dibutuhkan kita semua. Hampir seluruh rumah tangga di Indonesia maupun dunia, memiliki sebuah televisi atau lebih.

Mari kita lihat sedikit sejarah televisi, dan menghargai para penemunya yang telah menghadirkan jendela dunia di ruang duduk keluarga kita, dimana semua benda lain dan kursi-kursi di dalamnya diatur untuk menghadap ke arahnya.

TV MEKANIK

Mungkin susah untuk dipercaya. Namun, penemuan cakram metal kecil berputar dengan banyak lubang didalamnya yang ditemukan oleh seorang mahasiswa di Berlin-Jerman, 23 tahun, Paul Nipkow[1883], merupakan cikal bakal lahirnya televisi.

Paul Gottlieb Nipkow
Baird Transmitter, 1926

Kemudian disekitar tahun 1920, para pakar lainnya seperti John Logie Baird dan Charles Francis Jenkins, menggunakan piringan Nipkow ini untuk menciptakan suatu sistem dalam penangkapan gambar, transmisi, dan penerimaannya. Mereka membuat seluruh sistem televisi ini berdasarkan sistem gerakan mekanik, baik dalam penyiaran maupun penerimaannya. Saat itu belum ditemukan Cathode Ray Tube [CRT].

Baird Televisor, 1930Vladimir Zworykin, yang merupakan salah satu dari beberapa pakar pada masa itu, mendapat bantuan dari David Sarnoff, Senior Vice President dari RCA [Radio Corporation of America]. Sarnoff sudah banyak mencurahkan perhatian pada perkembangan TV mekanik, dan meramalkan TV elektronik akan mempunyai masa depan komersial yang lebih baik. Insinyur lain, Philo Farnsworth, juga berhasil mendapatkan sponsor untuk mendukung idenya, dan ikut berkompetisi dengan Vladimir.

TV ELEKTRONIK

Televisi elektronik agak tersendat perkembangannya pada tahun-tahun itu, lebih banyak disebabkan karena televisi mekanik lebih murah dan tahan banting. Bukan itu saja, tetapi juga sangat susah untuk mendapatkan dukungan finansial bagi riset TV elektronik ketika TV mekanik dianggap sudah mampu bekerja dengan sangat baiknya pada masa itu. Sampai akhirnya Vladimir Kosmo Zworykin dan Philo T. Farnsworth berhasil dengan TV elektroniknya. Dengan biaya yang murah dan hasil yang berjalan baik, orang-orang mulai melihat kemungkinan untuk beralih sistem.

GE Octagon Mechanical Television, 1928Baik Farnsworth, maupun Zworykin, bekerja terpisah, dan keduanya berhasil dalam membuat kemajuan bagi TV secara komersial dengan biaya yang sangat terjangkau. Di tahun 1935, keduanya mulai memancarkan siaran dengan menggunakan sistem yang sepenuhnya elektronik. Kompetitor utama mereka adalah Baird Television, yang sudah terlebih dahulu melakukan siaran sejak 1928, dengan menggunakan sistem mekanik seluruhnya. Pada saat itu, sangat sedikit orang yang mempunyai televisi, dan yang mereka punyai umumnya berkualitas seadanya. Seadanya disini, mungkin tidak seperti yang kita bayangkan, namun pada masa itu ukuran layar TV hanya sekitar tiga sampai delapan inci saja, sehingga persaingan mekanik dan elektronik tidak begitu nyata, tetapi kompetisi itu ada disana. Sistem yang lebih unggul akan mematikan lawannya.

Tahun 1939, RCA dan Zworykin siap untuk program reguler televisinya, dan mereka mendemonstrasikan secara besar-besaran pada World Fair di New York. Antusias masyarakat yang begitu besar terhadap sistem elektronik ini, menyebabkan the National Television Standards Committee [NTSC], 1941, memutuskan sudah saatnya untuk menstandarisasikan sistem transmisi siaran televisi di Amerika. Lima bulan kemudian, seluruh stasiun televisi Amerika yang berjumlah 22 buah itu, sudah mengkonversikan sistemnya kedalam standard elektronik baru.

TV RCA, Tipe TT5, 1939Pada tahun-tahun pertama, ketika sedang resesi ekonomi dunia, harga satu set televisi sangat mahal. Ketika harganya mulai turun, Amerika terlibat perang dunia ke dua. Setelah perang usai, televisi masuk dalam era emasnya. Sayangnya, pada masa itu, semua orang hanya dapat menyaksikannya dalam tata warna hitam putih.

TV BERWARNA

Sebenarnya CBS sudah lebih dahulu membangun sistem warnanya beberapa tahun sebelum rivalnya, RCA. Tetapi sayang sekali bahwa sistem mereka tidak kompatibel dengan kebanyakan TV hitam putih diseluruh negara. CBS, yang sudah mengeluarkan banyak sekali biaya untuk sistem warna mereka, harus menyadari kenyataan bahwa pekerjaan mereka berakhir sia-sia. RCA, yang belajar dari pengalaman CBS, mulai membangun sistem warna mereka sendiri. Mereka dengan cepat membangun sistem warna yang mampu juga untuk diterima sistem hitam putih [BW]. Setelah RCA memamerkan kemampuan sistem mereka, NTSC membakukannya untuk siaran komersial thn 1953.

Artikel Televisi, 1928

Berpuluh tahun kemudian hingga awal milenium baru, abad 21 ini, orang sudah biasa berbicara lewat telepon selular digital dan mengirim e-mail lewat jaringan komputer dunia, tetapi teknologi televisi pada intinya tetap sama. Tentu saja ada beberapa perkembangan seperti tata suara stereo dan warna yang lebih baik, tetapi tidak ada suatu lompatan besar yang mampu untuk menggoyang persepsi kita tentang televisi. Tetapi semuanya secara perlahan mulai berubah. Televisi mulai memasuki era digital.

Inilah mereka para pelopornya:

  • Paul Nipkow [1860-1940], Berlin-Jerman
  • John Logie Baird [1888-1946], Scotland-Inggris
  • Charles Francis Jenkins [1867- 1934], Amerika Serikat
  • Vladimir Kosmo Zworykin [1889-1982], Rusia. Setelah revolusi Bolshevik, bermigrasi ke Amerika tahun 1919.
  • Philo T. Farnsworth [1906-1971], Amerika Serikat
  • David Sarnoff [1891-1971], Amerika Serikat. Mulai terkenal 1912 ketika bekerja sebagai operator telegram pada Marconi Company of America yang menerima data penumpang yang lolos dari maut saat tenggelamnya Titanic.